Senin, 04 April 2016

Berbaur Dengan Tebing 45



Taddeang Maros
11 s/d 13 Februari 2010

Melatih Otot dan Otak
 Sore yang cerah di hari itu, jum’at 11 Februari 2011. Aku tiba-tiba saja di telpon oleh teman-teman dari MAPALA Teknisi, aku di ajak untuk bergabung bersama teman-teman yang lain untuk latihan panjat di tebing 45 Taddeang Maros. Aku pun langsung bersiap-siap dan mem-packing semua perlengkapan yang akan aku bawah, termasuk pakaian, sliping bag (kantong tidur) dan juga ransum.
Berkumpul di Sherpa (sebutan untuk tempat ngumpul anggota diksar kami) setelah shalat magrib sembari menunggu teman-teman yang lain yang juga ingin ikut dengan kami sambil mem-packing perlengkapan panjat yang akan kami bawah.
Pukul 21.00 wita, berangkat meninggalkan sherpa tanpa lupa berdoa terlebih dahulu. Aku dan teman-teman yang lain (Babon, Gurit, Cobra, Cemara, Ceremai, Tupai, Lahar, Cheeta, ka’ mambu, ka’ uki, ka’ kuda, ka’ akku dan ka’ aconk) hanya mengendarai sepeda motor meniggalkan kota Makassar menuju Taddeang Maros.
Sekitar pukul 23.00 wita, rombongan tiba di taddeang Maros. Memarkir kendaraan dan mencari tempat datar untuk mendirikan tenda dan memasak di sekitar tebing. Tebing 45 taddeang jaraknya tidak begitu jauh dari jalan raya Maros-Camba, hanya sekitar 100 meter di sebelah kanan jalan, nampak jelas kelihatan kalau kita melihat dari jalan raya . Tinggi tebing ini kira-kira sekitar 50 meter dari dasar tebing sampai titik top paling tinggi.
Malam semakin larut, tenda telah selesai didirikan dan makanan juga suda siap. Kami pun makan  bersama di tengah heningnya malam, sesekali terdengar suara kendaraan yang lewat di jalan raya. Suara gitar disertai nyanyian-nyanyian dan sedikit canda tawa membuat waktu di malam itu terasa berjalan bergitu cepat. Belum lagi kami berhenti bernyanyi, datang seorang petugas kepolisian yang sedang berpatroli. Katanya dia tidak sengaja mendengar suara kami yang sedang bernyanyi di tengah heningnya malam ketika dia sedang lewat dan membuatnya penasaran hingga harus singgah mengecek, kami pun semua sedikit terkejut. Akan tetapi segelas kopi dan beberapa batang rokok membuat kami semua satu sambil bercengkrama ditengah heningnya malam.
Setelah itu petugas itupun pergi, rasa ngantuk yang memaksa kami harus mencari tempat datar untuk merebahkan badan dan menutup mata hingga matahari menampakkan sinarnya esok hari
Pagi pun datang, kilauan sinar matahari memaksa kedua mata harus terbuka meski terasa sulit karena rasa ngantuk yang masih membebaniku. Tak lama kemudian anggota yang lain pun juga terbangun. segelas kopi dan beberapa potong cemilan mengisi perut yang kosong sembari mempersiapkan semua alat yang akan dipakai memanjat. Tali, Carbiner (cincin kait), Harness dan Full Body Harness,  Runner, figure of eight, chalk bag, helm dan sepatu merupakan alat yang harus disiapkan sebelum melakukan olahraga panjat tebing. Namun bila kita baru akan membuka jalur baru untuk memanjat masih banyak perlengkapan lain yang harus disiapkan seperti, palu tebing, bor tebing, hanger, anchor, pasak tebing (piston), hook,  chock dan lain-lain.
Pemanjatan pun dimulai, ka’ mambu ditunjuk untuk memasang alat pada jalur yang sudah ada, sementara itu ka’ akku sebagai blayer dan yang lain sebagai penonton, termasuk aku. Ka’ mambu mulai memanjat tebing yang sebelah kiri, sedikit demi sedikit menambah ketinggian hingga mencapai tinggi sekitar 10 meter. Ka’ mambu pun menyerah dan tak mampu lagi, tebing ini memang lumayan susah dari pada tebing yang sebelah kanan. Akhirnya kami sepakat untuk memindahkan jalur ke tebing yang sebelah kanan, tebing yang ini tidak begitu sulit untuk di panjat apalagi bagi kami yang anggota muda dan yang bertindak sebagai pemasang alat adalah tupai. Dia berhasil mencapai ketinggian sekitar 15 meter, biarlah ku rasa itu sudah cukup untuk berlatih panjat tebing sebagai pemula.
Satu persatu anggota mulai mencoba untuk memanjat dengan semangat yang tinggi meski ada juga yang tak mampu mencapai titik top yang telah ditentukan. Ya... namanya juga pemula. Tiba giliranku, harness buatan dari tali webing telah terlebih dahulu kupasang, tinggal pasang chalkbag dan sepatu dan langsung manjat tapi sebaiknya terlebih dahulu melakukan sedikit pemanasan dan peregangan otot agar tidak kaku pada saat memanjat. Sayangnya aku tidak bisa memakai sepatu panjat yang telah tersedia karena ukuranya yang agak kecil dari ukuran kakiku, apa boleh buat memanjat dengan kaki telanjang.
“Bismillahirrahmanirahim”. Ucapku dengan sedikit rasa tegang dan agak gemetaran mulai mencari celah sebagai tempat untuk berpengangan dan cacat batuan sebagai tumpuan kaki. Sedikit demi sedikit menambah ketinggian hingga tak terasa aku sampai pada titik top yang telah ditentukan dengan badan penuh keringat  jelek. Lepaskan pegangan, lemparkan tubuh kebelakang, blayer akan mengamankan kita dan menurunkan kita sedikit demi sedikit. Selesai sudah, di tebing ini aku hanya satu kali mencoba dan hasilnya cukup memuaskan, aku bisa mencapai titik top yang telah ditentukan.
Hari makin siang, suara adzan terdengar di telinga. Kegiatan pemanjatan dihentikan untuk sementara sembari beristirahat dan memasak untuk makan siang.   Setelah makan dan beristirahat, kegiatan kembali dilakukan, teman-teman yang masih penasaran terus mencoba bahkan beberapa kali. Begitu pun dengan yang ingin belajar blayer, tapi seharusnya sich yang jadi blayer adalah orang yang memiliki berat badan lebih dari pada si pemanjat.
Tak lama kemudian ka’ Akar angin dan Edelweis juga datang, akhirnya alat pada jalur kanan kembali dilepaskan akan dipindahkan ke tebing yang menantang disebelah kiri. Ka’ akar angin atau yang akrab disapa ka’ aka bertugas untuk memasang alat tersebut. Percobaan pertama ka’ aka hanya dapat mencapai ketinggian sekitar 10 meter dan akhirnya pada percobaan kedua ka’ aka berhasil mencapai ketinggian skitar 20 meter dan ditetapkan sebagai titik top.
Perjuangan kembali dilanjutkan, satu demi satu anggota mulai mencoba memanjat tebing yang lebih menantang ini, namun hanya gurita  yang mampu mencapai titik top yang telah ditentukan. Sementara yang lain tak mampu berbuat banyak menghadapi tebing ini, termasuk aku. Mungkin ini disebabkan karena lima liter tuak pahit (ballo) yang dibawah oleh cobra dari suatu tempat yang tak jelas.
Kami pun dipaksa untuk meminumnya, tak ada anggota muda yang tak kebagian kecuali yang perempuan. Termasuk aku, babon dan tupai yang tak terbiasa dengan minuman seperti itu, membuat aku tak mampu mencapai titik top pada tebing yang sebelah kiri karena merasa sedikit pusing, aku bahkan beberapa kali mencoba namun tak kunjung bisa sampai magrib menjelang.
Malam pun datang, pemanjatan kembali di tunda hingga esok pagi. Waktu beristirahat di malam hari di manfaatkan sebaik mungkin untuk beristirahat dengan harapan esok tubuh bisa kembali fit dan melanjutkan perjuangan memanjat tebing yang membuatku penasaran ini. Selain beristirahat tak lupa pula kami memasak untuk makan malam secara bersama-sama dengan sedikit gurauan dan canda tawa. Setelah makan malam, cemilan dan segelas kopi menemani kami di tengah keheningan malam hingga mata akan tertutup menanti indahnya kilauan sinar matahari di esok pagi.
Pagi pun datang. Dua hari sudah aku tidak mandi, rasa gatal diseluruh tubuh  memaksaku kaki untuk melangkah mencari tempat mandi. Aku pergi sendirian, sebelum teman-teman yang lain terbangun. Sekitar satu kilometer kesebelah timur tebing 45 taddeang, aku menemukan sebuah masjid. Disitulah aku mandi dan mengganti pakaian, kemudian setelah itu makan di warung yang ada disekitar masjid tersebut.
Perut pun terasa kenyang, tenaga sudah kembali fit dan untuk kembali ke tempat panjat aku sudah tidak berjalan kaki lagi melainkan naik angkot (pete-pete) yach hitung-hitung untuk menghemat tenaga, apalagi aku masih mau manjat. Hanya 5 menit aku naik angkot sudah sampai di tempat panjat, dari pada harus berjalan kaki selama 30 menit kan cape’ toch.
Datang dengan wajah ceria, karena sudah mandi dan makan. Teman-teman yang baru bangun dengan  muka-muka ngantuknya langsung bertanya padaku “dari mana nTeng?” sapaanku di Mapala, yach aku bilang aja dari mandi dengar sedikit cengar-cengir.
Setelah itu, sedikit pemanasan dengan berlari-lari kecil dan fush up sebelum memulai memanjat. Pasang harness dan chalkbag. Bismillahirrahmanirahim, mulai memanjat tanpa menggunakan sepatu, medan yang lebih sulit dari pada tebing sebelumnya sempat membuat aku kewalahan dan gagal pada percobaan pertama. Akhirnya pada percobaan kedua, aku berhasil mencapai titik top yang telah di tentukan yang tingginya sekitar 20 meter dengan penuh rasa bangga, bahkan sampai tiga kali aku mencapainya hingga sore menjelang. Sementara itu teman-teman yang lain yang juga bisa top hanya ka’ aconk, tupai, cheeta, ka’ aka dan ka’ mambu yang melepaskan alat.
Hari makin sore, kami memutuskan untuk menyudahi kegiatan panjat  kali ini, semoga saja lain kali aku dan teman-teman bisa kembali lagi kesini dan memanjat tebing yang lebih tinggi. Setelah alat dilepaskan, tenda dibongkar, packing, membersihakan sampah, kemudian bergegas meninggalkan tebing 45 teddeang Maros dengan mengendarai sepeda motor menuju Makassar dan kembali ke kost masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar