Taddeang Maros
11 s/d 13 Februari 2010
11 s/d 13 Februari 2010
Sore yang cerah di hari itu, jum’at 11
Februari 2011. Aku tiba-tiba saja di telpon oleh teman-teman dari MAPALA Teknisi, aku di ajak untuk bergabung
bersama teman-teman yang lain untuk latihan panjat di tebing 45 Taddeang Maros.
Aku pun langsung bersiap-siap dan mem-packing semua perlengkapan yang akan aku
bawah, termasuk pakaian, sliping bag (kantong tidur) dan juga ransum.
Berkumpul di
Sherpa (sebutan untuk tempat ngumpul anggota diksar kami) setelah shalat magrib
sembari menunggu teman-teman yang lain yang juga ingin ikut dengan kami sambil
mem-packing perlengkapan panjat yang akan kami bawah.
Pukul 21.00 wita,
berangkat meninggalkan sherpa tanpa lupa berdoa terlebih dahulu. Aku dan
teman-teman yang lain (Babon, Gurit, Cobra, Cemara, Ceremai, Tupai, Lahar,
Cheeta, ka’ mambu, ka’ uki, ka’ kuda, ka’ akku dan ka’ aconk) hanya mengendarai
sepeda motor meniggalkan kota Makassar menuju Taddeang Maros.
Sekitar pukul
23.00 wita, rombongan tiba di taddeang Maros. Memarkir kendaraan dan mencari
tempat datar untuk mendirikan tenda dan memasak di sekitar tebing. Tebing 45
taddeang jaraknya tidak begitu jauh dari jalan raya Maros-Camba, hanya sekitar 100
meter di sebelah kanan jalan, nampak jelas kelihatan kalau kita melihat dari
jalan raya . Tinggi tebing ini kira-kira sekitar 50 meter dari dasar tebing
sampai titik top paling tinggi.
Malam semakin
larut, tenda telah selesai didirikan dan makanan juga suda siap. Kami pun
makan bersama di tengah heningnya malam,
sesekali terdengar suara kendaraan yang lewat di jalan raya. Suara gitar
disertai nyanyian-nyanyian dan sedikit canda tawa membuat waktu di malam itu
terasa berjalan bergitu cepat. Belum lagi kami berhenti bernyanyi, datang
seorang petugas kepolisian yang sedang berpatroli. Katanya dia tidak sengaja
mendengar suara kami yang sedang bernyanyi di tengah heningnya malam ketika dia
sedang lewat dan membuatnya penasaran hingga harus singgah mengecek, kami pun
semua sedikit terkejut. Akan tetapi segelas kopi dan beberapa batang rokok
membuat kami semua satu sambil bercengkrama ditengah heningnya malam.
Setelah itu
petugas itupun pergi, rasa ngantuk yang memaksa kami harus mencari tempat datar
untuk merebahkan badan dan menutup mata hingga matahari menampakkan sinarnya
esok hari
Pagi pun datang,
kilauan sinar matahari memaksa kedua mata harus terbuka meski terasa sulit
karena rasa ngantuk yang masih membebaniku. Tak lama kemudian anggota yang lain
pun juga terbangun. segelas kopi dan beberapa potong cemilan mengisi perut yang
kosong sembari mempersiapkan semua alat yang akan dipakai memanjat. Tali,
Carbiner (cincin kait), Harness dan Full Body Harness, Runner, figure of eight, chalk bag, helm dan
sepatu merupakan alat yang harus disiapkan sebelum melakukan olahraga panjat
tebing. Namun bila kita baru akan membuka jalur baru untuk memanjat masih
banyak perlengkapan lain yang harus disiapkan seperti, palu tebing, bor tebing,
hanger, anchor, pasak tebing (piston), hook,
chock dan lain-lain.
Pemanjatan pun
dimulai, ka’ mambu ditunjuk untuk memasang alat pada jalur yang sudah ada,
sementara itu ka’ akku sebagai blayer dan yang lain sebagai penonton, termasuk
aku. Ka’ mambu mulai memanjat tebing yang sebelah kiri, sedikit demi sedikit
menambah ketinggian hingga mencapai tinggi sekitar 10 meter. Ka’ mambu pun
menyerah dan tak mampu lagi, tebing ini memang lumayan susah dari pada tebing
yang sebelah kanan. Akhirnya kami sepakat untuk memindahkan jalur ke tebing
yang sebelah kanan, tebing yang ini tidak begitu sulit untuk di panjat apalagi
bagi kami yang anggota muda dan yang bertindak sebagai pemasang alat adalah
tupai. Dia berhasil mencapai ketinggian sekitar 15 meter, biarlah ku rasa itu
sudah cukup untuk berlatih panjat tebing sebagai pemula.
Satu persatu
anggota mulai mencoba untuk memanjat dengan semangat yang tinggi meski ada juga
yang tak mampu mencapai titik top yang telah ditentukan. Ya... namanya juga
pemula. Tiba giliranku, harness buatan dari tali webing telah terlebih dahulu
kupasang, tinggal pasang chalkbag dan sepatu dan langsung manjat tapi sebaiknya
terlebih dahulu melakukan sedikit pemanasan dan peregangan otot agar tidak kaku
pada saat memanjat. Sayangnya aku tidak bisa memakai sepatu panjat yang telah
tersedia karena ukuranya yang agak kecil dari ukuran kakiku, apa boleh buat
memanjat dengan kaki telanjang.
“Bismillahirrahmanirahim”.
Ucapku dengan sedikit rasa tegang dan agak gemetaran mulai mencari celah
sebagai tempat untuk berpengangan dan cacat batuan sebagai tumpuan kaki.
Sedikit demi sedikit menambah ketinggian hingga tak terasa aku sampai pada
titik top yang telah ditentukan dengan badan penuh keringat jelek. Lepaskan pegangan, lemparkan tubuh
kebelakang, blayer akan mengamankan kita dan menurunkan kita sedikit demi
sedikit. Selesai sudah, di tebing ini aku hanya satu kali mencoba dan hasilnya
cukup memuaskan, aku bisa mencapai titik top yang telah ditentukan.
Hari makin siang,
suara adzan terdengar di telinga. Kegiatan pemanjatan dihentikan untuk
sementara sembari beristirahat dan memasak untuk makan siang. Setelah makan dan beristirahat, kegiatan
kembali dilakukan, teman-teman yang masih penasaran terus mencoba bahkan
beberapa kali. Begitu pun dengan yang ingin belajar blayer, tapi seharusnya
sich yang jadi blayer adalah orang yang memiliki berat badan lebih dari pada si
pemanjat.
Tak lama kemudian
ka’ Akar angin dan Edelweis juga datang, akhirnya alat pada jalur kanan kembali
dilepaskan akan dipindahkan ke tebing yang menantang disebelah kiri. Ka’ akar
angin atau yang akrab disapa ka’ aka bertugas untuk memasang alat tersebut.
Percobaan pertama ka’ aka hanya dapat mencapai ketinggian sekitar 10 meter dan
akhirnya pada percobaan kedua ka’ aka berhasil mencapai ketinggian skitar 20
meter dan ditetapkan sebagai titik top.
Perjuangan kembali
dilanjutkan, satu demi satu anggota mulai mencoba memanjat tebing yang lebih
menantang ini, namun hanya gurita yang
mampu mencapai titik top yang telah ditentukan. Sementara yang lain tak mampu
berbuat banyak menghadapi tebing ini, termasuk aku. Mungkin ini disebabkan
karena lima liter tuak pahit (ballo) yang dibawah oleh cobra dari suatu tempat
yang tak jelas.
Kami pun dipaksa
untuk meminumnya, tak ada anggota muda yang tak kebagian kecuali yang
perempuan. Termasuk aku, babon dan tupai yang tak terbiasa dengan minuman
seperti itu, membuat aku tak mampu mencapai titik top pada tebing yang sebelah
kiri karena merasa sedikit pusing, aku bahkan beberapa kali mencoba namun tak
kunjung bisa sampai magrib menjelang.
Malam pun datang,
pemanjatan kembali di tunda hingga esok pagi. Waktu beristirahat di malam hari
di manfaatkan sebaik mungkin untuk beristirahat dengan harapan esok tubuh bisa
kembali fit dan melanjutkan perjuangan memanjat tebing yang membuatku penasaran
ini. Selain beristirahat tak lupa pula kami memasak untuk makan malam secara
bersama-sama dengan sedikit gurauan dan canda tawa. Setelah makan malam,
cemilan dan segelas kopi menemani kami di tengah keheningan malam hingga mata
akan tertutup menanti indahnya kilauan sinar matahari di esok pagi.
Pagi pun datang.
Dua hari sudah aku tidak mandi, rasa gatal diseluruh tubuh memaksaku kaki untuk melangkah mencari tempat
mandi. Aku pergi sendirian, sebelum teman-teman yang lain terbangun. Sekitar satu
kilometer kesebelah timur tebing 45 taddeang, aku menemukan sebuah masjid.
Disitulah aku mandi dan mengganti pakaian, kemudian setelah itu makan di warung
yang ada disekitar masjid tersebut.
Perut pun terasa
kenyang, tenaga sudah kembali fit dan untuk kembali ke tempat panjat aku sudah
tidak berjalan kaki lagi melainkan naik angkot (pete-pete) yach hitung-hitung
untuk menghemat tenaga, apalagi aku masih mau manjat. Hanya 5 menit aku naik
angkot sudah sampai di tempat panjat, dari pada harus berjalan kaki selama 30
menit kan cape’ toch.
Datang dengan
wajah ceria, karena sudah mandi dan makan. Teman-teman yang baru bangun
dengan muka-muka ngantuknya langsung
bertanya padaku “dari mana nTeng?” sapaanku di Mapala, yach aku bilang aja dari
mandi dengar sedikit cengar-cengir.
Setelah itu,
sedikit pemanasan dengan berlari-lari kecil dan fush up sebelum memulai
memanjat. Pasang harness dan chalkbag. Bismillahirrahmanirahim, mulai memanjat
tanpa menggunakan sepatu, medan yang lebih sulit dari pada tebing sebelumnya
sempat membuat aku kewalahan dan gagal pada percobaan pertama. Akhirnya pada
percobaan kedua, aku berhasil mencapai titik top yang telah di tentukan yang
tingginya sekitar 20 meter dengan penuh rasa bangga, bahkan sampai tiga kali
aku mencapainya hingga sore menjelang. Sementara itu teman-teman yang lain yang
juga bisa top hanya ka’ aconk, tupai, cheeta, ka’ aka dan ka’ mambu yang
melepaskan alat.
Hari makin sore,
kami memutuskan untuk menyudahi kegiatan panjat kali ini, semoga saja lain kali aku dan
teman-teman bisa kembali lagi kesini dan memanjat tebing yang lebih tinggi.
Setelah alat dilepaskan, tenda dibongkar, packing, membersihakan sampah,
kemudian bergegas meninggalkan tebing 45 teddeang Maros dengan mengendarai
sepeda motor menuju Makassar dan kembali ke kost masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar